Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh

Jumat, 18 Februari 2011

Hari Terakhir Bersama Fhatimah


Pagi ini sudah 2 gelas pecah oleh Fhatimah gadis lugu yang hobby baca itu. Fhatimah kaget bukan main karena ia takut kalau sampai ibunya tahu dan terus marah padanya. “ko pecah lagi si.” Umpatnya sambil membereskan pecahan gelas di lantai dan tak di nyana ibu sudah berdiri di ambang pintu.
            “sudah 2 gelas yang kamu pecahkan Fhatimah. Ada apa sebenarnya denganmu?”tanya ibu tanpa sediktpun marah kepada Fhatimah.
            Dalam hati Fhatimah tersenyum senang karena perkiraanya tidak terjadi. “maaf bu, tangan Imah licin.” Belanya. ‘awww”jerit Fhatimah memekik kesakitan pecahan gelas itu mengfgores tanganya.
            Ibu kaget bukan main. “aduh Imah kamu tidak apa-apa nak?” ibu khawatir di melihatnya.
            Fhatimah tidak menjawab ia merasa kesakitan darahpun mulai mengucur mencemari tanganya yang sedikit kasar. Maklum lah Fhatimah adalah seorang gadis desa yang banting tulang bekerja keras demi membahagiakan ibunya yang sudah tua itu, ya karena ia tak memiliki ayah dan sanak saudara lainya jadi tak ada orang lain yang bisa menanggung beban hidupnya selama tiga tahun itu selepas kepergian ayah tercintanya yang telah meninggal akibat penyakit TBC. Setiap harinya Fhatimah mencuci pakaian tetangga dengan upah yang sangat minim yang hanya cukup untuk makan saja. Ia sebenarnya bukan tak ingin bekerja di pabrik atau toko yang gajinya lebih lumayan namun kondisi ijazah yang tidak mendukung karena ia hanyalah lulusan SD. Bukan tak mau juga ia pergi ke luar negeri untuk menjadi TKW tapi melihat kondisi ibunya yang semakin tua dan sering sakit-sakitan membuat ia lebih memilih bekerja di dekat rumah dengan gaji yang minim dari pada jauh-jauh tapi harus meninggalkan sosok ibu.
            Tok tok tok. Terdengar suara ketokan pintu dari luar. Ibu langsung beranjak meninggalkan Fhatimah yang sedang membersihkan darahnya. Tak lama kemudian ibu muncul kembali bersama sosok pemuda yang penampilnya sangatlah rapih. Fhatimah melongo sebentar ketika melihat pemuda itu tapi cepat kembali ia fokus sam lukanya.
            “sini sini biar ta bersihin.” Bantu pemuda itu menarik tangan Fhatimah.
            Tapi dengan cepat kilat Fhatimah menarik tanganya kembali. “eiiiiiiiitsss enak aja main tarik.” Ucapnya sewot. Dan pemuda itu langsung diam. “udah pulang kerja?” lanjutnya bertanya.
            “ya.” Pemuda itu menjawab dengan singkat pula, abisnya ia merasa bt akibat perlakuanya Fhatimah barusan orang mau nolong baik-baik malah di bls dengan sewot.
            “lagi bt ya? Ko singkat gitu?gak nanyain kenapa-kenapanya.” Ujar Fhatimah sambil membalut lukanya dengan sebuah kain yang baru saja di sobekanya dari kain lap yang kebetulan ada disana.
            Pemuda itu menelan ludahnya tapi justru itulah yang membuat ia makin sayang sama Fhatimah yang jinak jinak merpati. Dan ternyata sesungguhnya ia bernama Rendi tunangannya Fhatimah. Rendi bekerja di sebuah pabrik sepatu sebagai kepala keuangan, maklum ia kan lulusan S1 jurusan ekonomi. “yang algi bt itu sebenarnya siapa?” Rendi balik tanya.
            Fhatimah nyengir rasa sakitnya seperti hilang ketika ada sosok Rendi di hadapanya. “lhaa mas Rendi lah yang bt. Buktinya tuh main singkat-singkatan.”
            “itu semua karena Imah juga yang main sewot, orang mau bantu baik-baik.” Bela Rendi senagja memasang wajah bt.
            Ibu tersenyum melihatnya dan ibu merasa bangga memiliki putri seperti Fhatimah yang teguh mengabdi sepenuhnya kebada Alloh. Ibu sangat tahu mengenani anak gadisnya itu ia bukanlah sembarang gadis yang rela mengorbankan cintanya demi sosok yang belum tentu mencintainya. Ibu juga tahu Fhatimah lebih memilih menderita dari pada harus melanggar aturanya Alloh. Meskipun ia sakit keras tapi ia tak pernah meninggalkan soalt lima waktunya. Dari itu meskipun ibu sedikit bawel tapi sebenarnya ibu sangatlah sayang pada putri semata wayangnya. Enatahlah apa yang terjadi bila ia tak memiliki putri seperti Fhatimah mungkinkah menjadi pengemis adalah jalan yang terbaik, tapi begitu pemurahnya Alloh dengan adanya Fhatimah ia tak perlu melakukan hal itu. Karena ibu merasa malu lalu ia meninggalkan Fhatimah dan rendi yang masih meneruskan guyonanya di dapur tanpa rasa khawatir, ibu tahu Rendi bukan laki-laki bajingan.
            “udah solat ashar?” tanya Fhatimah membawa Rendi ke halaman belakang. Kemudian mereka duduk disebuah beranda.
            “udah donk. Imah udah solat juga dan makan?” jawab rendi balik tanya.
            Imah mengangguk tersenyum. Dan senyum itu membuat rendi selalu rindu ingin cepat meminang Fhatimah.
            “gini sayang kedatangan mas kesini ingin menyampaikan sesuatu.” Ucap Rendi sambil memandang pohon pisang yang terdapat tak jauh darinya.
            “sampaikan aja mas.” Pinta Fhatimah sedikit deg degan karena ia merasa takut kalau sampai kekasihnya itu menyamp[aikan hal yang tidak diinginkannya.
            “mas di tugaskan di kalimantan. Bila Imah siap mas pengen melamar Imah dan membawa Imah ke kalimantan.” Jelas rendi membuat Imah terbengong-bengong.
            “ko tiba-tiba mas?”
            Rendi menundukan kepalanya dan berkata. “ya mas juga gak tahu, tadi atasan mas nagabarinnya juga.”
            Fhatimah menjadi lemas rasanya tak karuan ia sedih bercampur bingung juga. dan pikiranya saat ini terfokus pada sosok ibu yang menjadi tanggunganya. “bukannya Imah menolak mas tapi mas juga kan tahu kalau daalm kehidupan Imah, Imah memiliki ibu yang sudah renta. Imah gak pengen membebankan mas.”
            “pasti itu alasanmu. Dengerin sayang tanggunganmu adalah tanggungan mas juga.”
            “mas bisa bilang gitu tapi kata-kata itu belum tentu terucap dari keluarga mas.”
            “mas adalah laki-laki dan mas berhak menentukan semuanya.”
            Imah terdiam sedih dan bayang-bayang itu mulai kembali menghantuinya ketika ibu Nur mamanya Rendi sengaja datang kerumahnya hanya untuk mencela Imah yang tak punya pendidikan tinggi.
            “sebenarnya Rendi mau di jodohkan dengan Tiara gadis kelahiran Bandung namun entah kenapa pula rendi selalu saja menolak. Padahal Tiara juga gadis yang baik lulusan kuliahan lagi.” Ucap ibu Nur waktu itu. Untung saat itu ibu sedang tidak ada jadi Fhatimah lelusa merahasiahkannya.
            Rendi menarik nafasnya dalam-dalam ia ingin sekali mendengar Fhatimah berkata “ia Imah mau menikah sama mas’ namun kata-kata yang di tunggunya selama 5 bulan ini tak kunjung di dengarnya.
            “Imah tak akan rela bila melihat ibu menangis karena masalah Imah. Tolong mengerti mas.” Pinta Imah mulai mengucurkan air matanya. Dalam hati ia menjerit meminta petunjuk yang maha kuasa.
            “apa kita bisa menikah ketika ibu sudah meninggal?”tanya rendi serius.
            Imah melirikan wajahnya cepat ada sedikit kekecewaan ketika ia harus mendengar kata itu. Imah ingin marah namun di urungkanya karena pertanyaan Rendi ada benarnya juga. “ko mas ngomongnya gitu?”
            “ya habis apa yang harus mas tanyakan. Mas sangat sayang sama Imah, mas terlalu takut bila terus di tunda-tunda mas takut gak bisa menahan kerinduan mas pada Imah. Imah ngerti kan maksud mas?”
            Imah menarik nafas panjang ia sangat mengerti dengan tutur kata Rendi. “Imah bingung mas.” Ucapnya pelan.
            “istikharah ya sayang. Mas kasih waktu tiga hari.”
            Meong meong. si Manis kucing kesayangan Imah menghampiri tanpa di panggil. Imah tersenyum melihat si Manis yang memiliki bulu hitam dan putih. “udah makan belum Manisku?”tanya Imah pada sang kucing.
            Meong meong. Lagi lagi si Manis hanya bisa Mengeong.
            Imah tersenyum lagi ia seperti tak memperhatikan permintaan Rendi. “kalau Imah gak ada dirimu tinggal dengan siapa ya Manis? Belum tentu orang lain menyaayangimu seperti Imah sangat menyayangimu.” Bisiknya sesekali mencium si Manis yang sedang tertidur.
            Dan Rendi hanya menelan ludah karena ia merasa di cuekan. “kalau perlu si Manis bawa juga ke Kalimantan.” Ujarnya mengalihkan pandangan.
            Imah tertawa kecil. “Manis mau ikut ke Kalimantan?”
            Meong meong.
            “gak mau katanya mas”
            Lalu mereka tertawa bersama.
            “ya insyaAlloh mas Imah akan istikharah dulu.” Ucap Imah memandang wajah Rendi.
                                                            ***
            “Fhatimah masakanmu sungguh enak”
            “benarkah ayah?”
            “iya nak. Kou memang pandai.”
            “yang ngajarinya siapa dulu”
            “ah ibu.hehehe”
            Fhatimah sednag bermimpi berkumpul bersama keluarganya yang tak lain adalah ibu dan ayahnya. Ia langsung terbangun dari mimpi itu. “udah jam 2” ucapnya seraya mengucek-ngucek matra yang masih ngantuk. Kemudian ia beranjak dari pembaringan dan pergi ke kamar mandi untuk berwudzu. Setelah selesai salat ia terdiam  menatap gambar mekkah al mukaromah yamg terpampang di sejadah berwarna biru itu. “oh Allohku akankah aku bisa membawa ibu ke rumahMu itu? Huhh maafin aku ibu karena sampai saat ini aku belum bisa membahagiakanmu. Oh iya ini hari terkhir istikharahku, belum ada kepastian yang pasti mengenai apa yang harus aku jawab sama mas Rendi.” Pikir Fhatimah bicara sendiri. “ya Alloh apa maksud mimpiku tadi?” lama sekali ia berdiam termangu memikirkan arti dari mimpinya. Saat melihat buku diary yang tersimpan di atas meja ia pun berniat untuk menulis secarik kata-kata yang ada di hati.
            Uhuk uhuk uhuk. Lamunan fhatimah buyar akibat mendengar suara ibu dari kamar sebelah yang terbatuk-batuk. Kemudian ia beranjak menuju kamar ibu yang di halangi dengan sebuah gorden lusuh berwarna hijau tua. Di bukanya gorden itu dan Fhatimah ingin memastikan sedang apakah ibu?
            Darah itu menodai mukena ibu dan ibu tidak berdaya terus menerus batuk darah. Fhatimah kaget bukan main melihat kondisi ibu kemudian ia merangkul ibu dan kebingungan apa yang harus ia lakukan? Ia begitu takut akan kehilangan ibu tapi ia juga tak kuasa untuk meninggalkannya karena tak ada orang lain lagi disana.
            “ibu. . .” tak kuasa Fhatimah untuik bicara ia masih kebingungan. Lalu ia cepat bergegas mengambil keputusan untuk membawa ibu ke rumah sakit. “semoga aja pak Rt sudi untuk mengantarkan ibu ke rumah sakit. Ibu tunggu ya, Imah mau ke rumah pak RT.” Dengan cepat Fhatimah lari meninggalkan sosok Ibu yang sedang sekarat untuk pergi ke rumah pak RT. Air mata bercucuran darahpun berlumuran di tangan Fhatimah.
            Suasana di luar sepi karena memang hari masih terlalu malam. Tapi Fhatimah tak merasa takut sedikitpun keinginanya begitu kuat untuk membawa ibu ke rumah sakit padahal ia sama sekali tak memegang uang sedikitpun. Jalananpun sangat sepi hanya satu dua saja mobil yang lewat. Kebetulan rumah pak RT harus menyeberang jalan dulu so bagaimanapun harus hati-hati meskipun sedang sepi, tapi ya tapi nasib malang telah menimpa Fhatimah.
            BRUKKKKKKKKKKKKK. Mobil avanza itu menabrak tubuh Fhatimah yang sedang menyeberang jalan. Dan beberapa menit kemudian suasana jalan menjadi ramai.
                                                            ***
            Suara ring tone maryah carey yang berjudul hurt berdering di handponenya Rendi, sebuah panggilan daris eoarang teman Rendi yang bernama Firman. Kemudian Rendipun mengangkatanya. “asalamualaikum Fir, ada apa pagi-pagi begini telepon saya?”
            “waalaikumsalam, saya turut berduka cita Ren atas kepergian Fhatimah beserta ibunya.” Jawab Firman di seberang sana dengan suara sendu.
            Rendi terdiam sejenak. “kamu lagi ngigau ya Fir?” Rendi tak percaya.
            “kamu belum dapat kabar Ren, kalau Fhatimah kecelakaan semalam? Istriku barusan habis takjiah juga keruamahnya. Apakah tidak ada yang memeberi tahumu?”
                                                            ***
            Air mata yang jarang sekali Rendi keluarkan kini tak bisa lagi ia tahan ketika harus mendengar kepergian Fhatimah utuyk selama-lamanya, ia tak emnduga kalau hari itu adalah hari terakhir pertemuanya dengan Fhatimah. Dan saat ini Rendi sedang terduduk di lantai samping ranjang reot milik Fhatimah, digenggamnya sebuah buku diary berwarna merah jambu pemberianya 3 bulan yang lalu saat Fhatimah ulang tahun. Lembar demi lembar ia buka buku itu ia baca setiap kata-kata yang tertulis di deretan garis-garis berwarana pink itu dengan di temani air mata yang terus mengucur tiada hentinya.
Dear diary
Malam ini Imah bermimpi ketemu sama ayah, kita makan bareng, kita berkumpul. Oh sungguh indahnya tapi sayangnya itu hanya sebuah mimpi. L
Hemmm Imah inget sama mas Rendi, kenapa ya? :D
Dan perlu di ketahui Imah belum dapat jawaban mengenai istikharah, huhhh bingung juga, tapi Imah mau pasrahkan semua ini sama Alloh aja, apa yang natr siang Imah ucapkan smaa mas Rendi itu adalah yang terbaik bagi kita.
Ya Alloh berikanlah yang terbaik untuk kami, untuk ibu, aku, dan mas Rendi. Amin.
Hemmm… apa lagi ya??
            Meong meong meong. Suara kucing si Manis membuyar tangisan Rendi. “manis sekarang kou sendiri ya?” tanya Rendi pada si Manis yang menatapnya. Namun si Manis hanya diam membisu tak mengeluarkan suara manisnya ia seperti terbawa suasana yang sedang duka itu.
Kemudian Rendi mengambil sebuah pena yang tersimpan di atas meja.
Bidadari yang aku kenang

Gadis, betapa berharaganya dirimu
Wajahmu yang sederhana menyemangati duniaku
Suaramu selalu berceloteh manja
Matamu yang indah terhiasi beribu bintang
Betapa aku semakin cinta padamu

Tapi kenapa kou begitu
Berlalu tanpa mempedulikan perasaanku
Aku luka saat ini
Kehilangan bidadari yang selama ini aku cari
Bayangmu tak luput dari benaku
Kou menari-nari dengan senja abadi
Dan kemanakah harus aku cari lagi
Mawar putih yang selalu ku nanti

Kini aku sendiri
Membisu melepas kepergianmu
           
Kemudian Rendi menutup buku diarynya Fhatimah, dan beranjak pergi meninggalkan tempat yang penuh kenangan itu. Beranda di belakang rumah yang selalu tertata rapih mungkin tak akan di laluinya lagi. Dan bayangan Fhatimah masih menari-nari di antara tempat-tempat yang pernah Rendi singgahi bersamanya.
            Tak lupa Rendi melihat kamar ibu. Matanya beralih melihat tumpukan mukena yang berlumur darah, dan ia bisa memperkirakan ibu meninggal akibat suatu penyakit yang di tularkan oleh suaminya ayah Fhatimah. Karena tak ada seorangpun yang tau alur cerita bagaimana Fhatimah bisa tertabrak dan penyebab kepergian ibu.

Kamis, 17 Februari 2011

untuk sahabatku


ketahuilah sahabat
aku bukan makhluk yang sempurna
kesalahan yang tyada terhitung
kepadamu

tapi aku aku merasa bangga sama diri sendiri
biarpun aku begini
karena ternyata kamu adalah salah satu yang ada dalam bagian hidupku
hari-hari kita dulu selalu terukir manis
senandung lirih saat suka dan duka

aku bangga padamu
karena kamu mau jadi sahabatku
seorang sahabat mengalahkan segalanya
menghilangkan resah yang gulana
karena kou selalu ada

namun ketahuilah juga
sampai detik ini
secuilpun tak ada yang bisa aku korbankan untukmu

sahabatku sayang
aku merindukanmu ingin seperti dulu lagi
dimana kita menjadi lakon yang manis

aku ingin kou selalu ingat aku
bukan saat senang aja
namun ketika duka juga

dan bila aku harus pergi meninggalkanmu
aku ingin kou kenang dengan sebait fatihah
dari hatimu yang tulus
begitupun sebaliknya harimu, hidupmu,candamu,dukamu akan selalu ku ukir sebaik2nya.

i miss you.

Selasa, 15 Februari 2011

CINTAKU DI BAGI DUA (cerber)

aku melihat wajahnya yang sedang terlelap tidur lembut dan tenang. memanglah suamiku itu bisa dikatakan tampan dan itu bukan menurutku saja tapi banyak orang yang bilang seperti itu termasuk bi Susan, bik Tantri, mang Syahid dan saudaraku yang lainya. kami adalah pengantin baru yang telah menikah sekitar 2 bulan yang lalu, sungguh aku sangat mencintainya melebihi apapun dan tentunya dia juga sangat mencintaiku. suamiku bernama Rayhan namun aku lebih senang memanggilnya kanda karena terdengar romantis ya untuk memuliaknya aku senantiasa menyenangkan hatinya dengan berbagai cara meskipun aku tidak tahu hati sebenarnya itu senang apa tidak yang jelas aku sudah berusaha semampuku untuk menyenangkanya.
kupandangi lagi wajahnya dengan penuh cinta mungkin mas Rayhan sedang bermimpi indah dialam mimpinya karena seperti yang aku perhatikan wajahnya yang bersih itu sekali-kali memunculkan senyum manis yang membuat aku tergoda untuk mengecupnya. sungguh indah ternyata panorama ini memiliki suami yang tampan, memiliki pekerjaan yang tetap, dan bisa menjadi imam dalam hidupku. namun sebaliknya aku merasa malu juga karena aku bukanlah istri yang sempurna baginya, memanglah manusia tidak ada yang sempurna dan ketidak sempurnaan itu ada padaku. aku menikah dengannya bukan sebagai seorang gadis pada umumnya. maksudku aku sudah tidak virgin lagi. kegadisanku hilang saat aku pacaran dengan mantanku beberapa tahun silam dan aku sangat menyesal aku hampir bunuh diri saat putus denganya tapi Alloh berkehendak lain setelah aku bertemu denganya lewat seorang teman akhirnya pelan-pelan aku bisa sadar bahwa bunuh diri bukan jalan satu-satunya, dan alhmadulilah dengan cintanya yang tulus juga mas Rayhan bisa menerima keadaanku apa adanya, baginya soal itu tak jadi masalah asal aku ada keinginan untuk bertobat dan berubah aja dia pasti senantiasa menerimaku apa adanya. Selain itu aku bukanlah wanita yang cantik dan berpendidikan tinggi, aku memiliki wajah yang sangat pas-pasan dan hanya tamatan SMA beda dengan mantanya yang adalah seorang dokter anak dan memiliki wajah yang ideal enak di pandang. kadang aku merasa cemburu juga bila mas Rayhan sudah bercerita tentang masa lalunya dengan mantanya itu namun demikian kecemburuan itu selalu aku sembunyikan karena aku percaya cintanya saat ini hanyalah untuk diriku seorang.
"dinda belum tidur?ini sudah malam sayang."bisiknya membuyar pandanganku.
"gak bisa tidur kanda." jawabku singkat.
"sini kanda pelukin sayang."ujarnya sambil meraih tubuhku yang berbaring disisinya. "tidur ya,mmmmmmuaaaaachh" lanjutnya mendaratkan bibirnya kekeningku.
aku hanya diam tersenyum bahagia, Rayhan memanglah sangat romantis. oh aku sangat mencintainya melebihi apapun.
***
pukul tiga dini hari aku sudah terbangun dari mimpi indahku bersama suamiku, setelah selesai salat tahajud dan beebrapa salat lainya aku bergegas menyiapkan berbagai macam keperluan suamiku dan mertuaku.
"bu, ini susunya diminum dulu"sahutku saat melihat ibu mertua yang sedang memanaskan motornya karena sebentar lagi beliau harus pergi ke sekolah untuk mengajar.
"iya sebentar."teriak ibu dari luar. kasihan juga aku melihatnya karena di usia yang semakin tua ini ibu masih disibukan dengan mengjar berhubung masa pensiunya belum tiba.
lalu aku melihat suamiku yang sedang menyisir rambutnya yang sedikit berantakan. oh aku ingat mas Rayhan belum sarapan karena tadi dia harus sibuk dengan mengetik. dan buru-buru aku mengambil sarapan, "disuapin ya kanda." pintaku seraya menyodok sesendok nasi dan lauknya. tanpa berkata diapun melahapnya.
akhirnya tugasku sebagai seorang istri di pagi ini selesailah sudah. suamiku sudah bernagkat kerja, ibu mertuakupn sudah berangkat. tinggal aku sendiri di rumah. dan hal begini yang bikin aku jenuh saat tak ada pekerjaan yang harus aku lakukan.bila saja si buah hati ada mungkin aku tak akan jenuh, dan entah kapan Alloh mempercayakan kami untuk memiliki buah hati.
ting teng ting teng. bunyi handponeku pertanda sms masuk dan langsuing kulihat, "vitaminya diminum ya sayangku." pinta suamiku. oh ya Alloh sungguh dmas Rayhan sangat perhatian.
***
waktupun tak terasa terus berjalan hingga perniakahan kami meunjukan sudah satu tahun lamanya. senangnya suamiku masih sama perhatinya kayak waktu baru nikah dulu. Mas rayhan sabar lagi gak pernah ngeluh saat hadapin masalah apapun.
"kita jalan-jalan yuk dinda. kanda lihat seprtinya dinda suntuk diam di rumah terus." ajak suamiku penuh dengan mesra.
aku tersenyum kecil senang pula mendenagr ajakanya yang tiba-tiba itu. "jalan-jalan kemana nih kanda??"tanyaku bersandar di bahunya. untung di rumah gak ada orang soalnya ibu sedang pergi entah kemana jadi kami bisa mesra-mesraan dengan leluasa.
"kemana aja. yang jelas bisa bikin hatimu terhibur sayang."ucapnya yang sedang memotong kuku tanganku.
saat ini suamiku tengah libur karena ia sedang mengambil jatah cutinya selama 3 hari. so kemungkinan ia ingin memanfaatkan waktu yang ada untuk bersamaku.
aku senang bukan main layaknya seorang anak yang baru saja di belikan sebuah mainan yang sangat diinginkanya. "yowis kapan kita berangkat kanda?"tanyaku sambil membereskan rambut yang berantakan.
Mas Rayhan memandangku sejenak. "ya sekarang, tapi kita mandi dulu. ok" lalu bibirnya mendarat lagi di keningku tanpa aku minta. memanglah suamiku itu sangat senang memanjakanku dengan ha-hal kecil seperti itu.
aku membalas kecupanya. "mmmmmmmuuuuaaaaaaacccccchhh"
***
mas Rayhan mengajaku ke sebuah pantai yang tempatnya lumayan sepi karena memang tak banyak pengunjung yang datang, lagian kami tidak terlalu suka dengan tempat yang ramai-ramai. dan disana kami mencari sebuah tempat yang kiranya enak untuk di singgahi, kami duduk di pinggir karang dengan di temani ombak yang kadang-kadang menerpa kakiku yang di baluti dengan kaos kaki.
"indah sekali ya kanda, ko tumben kanda ngajak dinda kesini?"
"ini adalah tempat pertama kali kanda kencan sama Diana."jawabnya seperti menerawang jauh mengingat masa lalunya.
aku diam tak menjawab namun hati mulai bergejolak lagi karena cemburu ini mulai terasa lagi bila mas Rayhan bicara soal mantanya itu yang bernama Diana. aku juga heran entah kenapa mas Rayhan sering kali membicarkan Diana di depanku padahal aku adalah istrinya pernikahan kamipun sudah satu tahun berjalan, tapi kenapa nama Diana tak bisa lepas dari ingatannya.
"andai saja waktu bisa kembali, maka mungkin hubungan dengan Diana tak akan terjadi, sungguh kau tak bisa melupakanya. tapi bukan berarti kanda tidak mencintaimu sayang, cuma inilah persaan kanda." ujarnya masih menerawang masa lalunya.
jujur aja aku pun punya masa lalu, bahkan masa laluku sangat pahit dan kelam, aku memiliki mantan juga bahkan hubungan kami waktu itu lumayan lama 1 tahun 1/2. akan tetapi jauh dari itu sekarang aku sudah memiliki suami yang bukan dia jadi hatiku seutuhnya hanya untuk suami dan itu adalah janjiku, apapun resikonya aku harus senantiasa menciantai suami. "kanda kangen ya sama Diana?" tanyaku membuyar kenanganya.
mas Rayhan melirikan wajahnya menatap wajahku yang mulai murung. "entahhlah dinda sekarang-sekarang kanda suka inget sama Diana, makanya kanda ajak dinda kesini."
aku sungguh heran entah apa yang ada di benaknya saat ini? ko mas Rayhan tega bilang kata-kata seperti itu kepadaku. namun aku mencoba untuk tegar menyembunyikan rasa cemburu ini. "dia kan sudah jadi istrei orang kanda. kanda kan punya aku sekarang." ucapku tersenyum kecil.
mas Rayhan tersenyum juga. "iya dinda kalo gak ada dirimu entah bagaimana mkand sekarang. makasih ya sayang udah sabar hadapin kanda kayak gini." katanya sembari merangkul pundaku dan tak lupa mengecup keningku tak peduli di lihat orang yang kebetulan lewat ke arah situ.
indah sungguh indah aku senang meskipun ada cemburu di hatiku tapi biarlah toh sekarang mas Rayhan adalah miliku.
***
tak terasa pernikahan kami sudah 3 tahun lamanya. “dinda masih ingat gak waktu pertama kita jadian?"tanya mas Rayhan yang sedang mengotak atik laptopnya.
"ko tiba-tiba" pikirku dalam hati. "tentunya masih dong, memangnya kenapa sayang?" jawabku balik tanya.
"dinda waktu itu plin plan juga ya"
"mau bahas masalah itu ni?"
"hehehehe,,mantan dinda yang bernama Dimas itu sekarang udah nikah tah?" ucapnya mengalihkan pembicaraan.
"mana dinda tahu." jawabku seraya mengangkat bahuku.
mas Rayhan diam tak bertanya lagi. kemudian aku menghampirinya. "kenapa kanda bertanya tentang hal itu?" tanyaku heran.
"kalau seandainya kanda poligami, apa yang akan dinda lakukan?"
sumpah aku benar-benar heran mendengar pertanyaanya yang gak nyambung itu, pertama nanya ini, trus nanya itu. dan sekarang nanya soal poligami. "kanda mau nikah lagi?"
"pertanyaanya kan bukan itu."
"ya dinda akan berusaha nerima, lagian dinda akui sampai saat ini dinda belum bisa ngasih kanda keturunan. bila kanda ingin poligami, menikahlah. tentunya kanda tahu bagaimana hukum poligami itu, syaratnya juga. dinda ikhlas bila Alloh ridho." tuturku setegar mungkin supaya rasa sedih ini tidak muncul di hadapanya.
mas Rayhan tersenyum kecil. seperti ada kata-kata rahasia yang ingin dia ucapkan namun tak berani diungkapkanya. "karena ini udah larut malam kita tidur aja yu." ajaknya sambil mematikan laptop.
dan malam ini aku tidur sungguh tidak nyenyak, berkali-kali bayang wajah Diana yang aku lihat di sebuah foto muncul di benaku, aku merasa takut kehilangan cinta suamiku, aku takut perhatianya beralih ke perempuan yang tak bisa lepas dari ingatan suamiku.
memang si bila ku perhatikan kelakuan suamiku akhir-akhir ini sering aneh seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.
***
"kanda ko sarapanya gak di makan?"tanyaku saat melihat tupherware yang masih berisi nasi dan goreng ayam. "gak enak ya masakanku?" tanyaku lagi sedikit kecewa.
"mmmmmm bukan begitu sayang, kanda. . ."jawabanya terhenti dan aku merasa yakin mas Rayhan sedang kebingungan untuk mencari jawaban yang masuk di akal dan sekiranya tidak melukai hatiku.
"yaudah gak apa-apa. tadi dinda beli daging sapi, mau di bikin apa sayang?"ujarku mengalihkan pembicaraan mencoba untuk menghangatkan suasana.
"bikin rendang aja sayang."
"yowes." aku tersenyum simpul padahal hatiku tak karuan penasaranya.sebenarnya mas Rayhan sering sekali tak memakan sarapan yang sengaja di bawa dari rumah ke kantornya, dan aku baru berani bertanya pagi ini, begitupun jawabannya tak tuntas karena aku tak ingin memperpanjangkan masalah.
rendangpun telah jadi dan langsung kusuguhkan kepada suamiku yang baru saja pulang dari masjid. mas Rayhan memakanya dengan penuh kenikmatan. "oia dinda besok mungkin kanda pulang agak larut malam." katanya disela-sela makan malam.
"memangnya ada acara apa?"
"hmmm mau ke rumah Handi ngambil berkas. rumahnya handi kan jauh."
benarkah itu? aku sedikit tak percaya tapi aku gak berani untuk terus bertanya. dan terpaksa aku mempercayainya.
***
sebelum tidur aku senantiasa meyiapkan perlengkapan kerja suamiku untuk besok, seprti pakaian dan tak sengaja aku menemukan sebuah kotak kecil berbentuk segi empat. kotak itu tidak di bungkus dan kuberanikan diri untuk membukanya karena aku sangat penasaran ingin tahu apa mengenai isinya.
Benar dugaanku isinya sebuah cincin putih permatanya hanya ada satu terdapat di bagian tengah dan tidak terlalu besar. Aku tersenyum sendiri karena aku berpikir itu cincin senagaja buat aku. Mas Rayhan kan suka ngasih kejutan tak terduga. Oh suamiku sayang. Lalu ku simpan kembali cincin putih itu di tempat semula.
Tidurku tidak nyenyak karena kau kepikiran mengenai cincin putih yang belum juga mas Rayhan berikan dan aku tak ingin menaruh curiga apa-apa. Positif thinking aja wes pokoknya.
Hari demi haripun berlalu cincin yang aku tunggu itu tak kunjung ia berikan. “apa mungkin mas Rayhan lupa?” pikirku mencoba menenangkan diri. Dan rasa curigapun kembali muncul di benaku. Oh Tuhan apakah yang terjadi sebenarnya?
“kanda.”
“iya, ada pa dinda?”
“dinda boleh minta sesuatu gak?”
“minta apa?”
“pengen cincin.” Ucapku sesekali melihat reaksi wajahnya yang memang sedikit gugup. “pengen cincin putih, dinda kan gak pernah minta apa-apa sama kanda.” Lanjutku membuat ia semakin gugup.
“iya ntar ta beliin.” Ujarnya singkat.
Aku terdiam. dalam hati menangis curigaku semakin menjadi saat ini. “kepada siapakah cincicn itu kou berikan oh suamiku?”tanyaku dalam hati.
Bersambung…